Minggu, 14 Maret 2010

Konservasi

ANALISIS KEBIJAKAN KAWASAN KONSERVASI

Oleh:

Agus Yadi Ismail, MSi

Dosen Pengajar Fahutan

Universitas Kuningan

Ringkasan

Terbitnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, merupakan tonggak sejarah pelestarian alam di Indonesia karena mengatur upaya Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya secara utuh dan menyeluruh, namun tidak mampu menahan laju kerusakan hutan yang mengakibatkan telah terjadinya kehilangan, kematian dan kepunahan jenis tumbuhan dan satwa liar. Penyebab utama dari kondisi tersebut dikarenakan kebijakan yang di banguan dalam rangka pelestarian dnaa konservasi Sumberdaya Alam kurang memenuhi kriteria efficiency dan cost-effectiveness, fairness, Incentives, enforceability yang dilandasi pengembangan moral.


I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesadaran akan kebutuhan pelestarian keanekaragaman hayati telah ada sejak berabad-abad, di Amerika Utara, Eropa, dan bagian dunia lainnya. Di Indonesia kesadaran ini dimulai sejak zaman pemerintahan penjajahan Belanda. Tonggak sejarah pelestarian alam di Indonesia mutakhir adalah terbitnya Undang-undang No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan–ketentuan Pokok Lingkungan Hidup. Berdasarkan Undang-Undang tersebut telah disusun berbagai kebijakan nasional dan strategi konservasi alam Indonesia.

Kebijakan konservasi di Indonesia sangat penting, mengingat Indonesia yang meskipun hanya meng-cover 1,3 % luas permukaan bumi, Indonesia memiliki 10 % species tanaman berbunga, 12 % species mamalia dunia, 16 persen spesies reptile dan amphibi, 17 persen species burung dan 25 persen atau lebih species ikan dunia . Hutan Indonesia kaya akan species dengan didiami keanekaragaman yang besar dari palm, lebih dari 400 species Dipterocarpaceae, (sebagian besar pohon kayu komersil di Asia Tenggara) dan diperkirakan 25.000 tanaman berbunga. Sebagaimana kekayaan dan keanekaragaman tumbuhan, Indonesia memiliki ranking pertama di dunia untuk spesies mamalia (515 species, 36 persen endemic),rangking pertama untuk kupu-kupu (121 species,44 persen endemik), ranking ke tiga untuk reptile (600 species), ranking ke empat untuk burung (1519 species, 28 persen endemic), keempat untuk amphibi (270 species) dan ketujuh untuk tanaman berbunga. Perhatikan tabel berikut.


Tabel 1. Estimasi Jumlah Total Tipe Biotik Utama

Kelompok

Indonesia

(Spesies)

Dunia

(Spesies)

Bakteri,algae,biru merah

Fungi

Rumput Laut

Lumut

Paku

Tumbuhan berbunga

Insek

Molluka

Ikan

Amphibi

Reptil

Burung

Mamalia

300

12.000

1.800

1.500

1.250

25.000

250.00

20.000

8.500

1.000

2.000

1.500

500

4.700

47.000

21.000

16.000

13.000

250.000

750.000

50.000

19.000

4.200

6.300

9.200

4.170

Sumber: Bapenas,1993; Mc Neely et al., 1990

Kebijakan operasional yang telah dilakukan pemerintah Indonesia dalam upaya konservasi tersebut diantaranya adalah melindungi jenis, sumber plasma nutfah dan ekosistem dari kepunahan. Dalam mendukung kebijakan tersebut juga telah diciptakan kerangka kelembagaan sektoral di tingkat pusat. Semasa orde baru, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan diberi tanggungjawab untuk melakukan perlindungan dan konservasi ekosistem alami di kawasan-kawasan konservasi . Departemen ini mendukung peran Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup yang diberi tanggungjawab untuk menyusun strategi pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia dan pengintegrasiannya dalam pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh sector–sector lain, seperti Departemen Pertanian, Departemen Pertambangan, Departemen Transmigrasi, Departemen Pekerjaan Umum, maupun dalam perencanan pembangunan regional yang disusun oleh Bappenas dan Bappeda (Bappenas, 1993). Berbagai upaya positif juga telah dilakukan untuk melestarikan keanekaragaman hayati nasional. Departemen Kehutanan melalui Tata Guna Hutan Kesepakatan tahun 1984 telah menyisihkan hutan seluas 18.725.215 hektar sebagai kawasan Konservasi (Dirjen Pengusahaan Hutan,1997). Jejaring dari 336 kawasan konservasi yang mencakup 24 taman nasional serta kawasan konservasi laut dan perairan juga telah dibangun dan dikelola (Departemen Kehutanan dan FAO dalam Bappenas,1993). Pemerintah Indonesia juga telah berperan aktif dalam skema–skema konservasi global, seperti Ramsar, untuk perlindungan lahan basah maupun CITES untuk memantau keberadaan dan kecenderungan populasi species – species yang diperdagangkan (Bappenas,1993).

Namun kebijakan, strategi dan kelembagaan yang telah diupayakan tersebut tidak mampu membendung laju pengurasan (deplesi) hutan. Pada tiga tahun terakhir ini menurut data dari Baplan menunjukan bahwa telah terjadi deplesi yang sangat cepat. Hutan alam Indonesia berkurang 2,1 juta ha setiap tahunnya. Sisa Hutan alam produksi yang masih dianggap utuh tinggal 20 juta ha (dari 60 juta ha). Demikian pula hutan lindung dari seluas 30,3 ha tersisa tinggal 30%, bahkan kawasan hutan konservasi juga mengalami penjarahan. Pengurangan hutan tersebut akibat aktivitas logging (legal dan illegal) dan perladangan berpindah.

Dengan terjadinya degradasi dan deplesi hutan, menyebabkan terjadinya pengurangan jumlah species dan bahkan mengalami kepunahan. Menurut Mc Neely (1978) sejak jaman Pleistocene 35 jenis mamalia telah musnah di Jawa, termasuk 20 jenis di tempat lain. Hilangnya habitat secara terus menerus menyebabkan musnahnya ekosistem tingkat local dan spesies. Sebagai contoh akhir-akhir ini Harimau Jawa menjadi langka dan kurang dari 18 spesies burung sudah tidak terlihat lagi di Jawa, termasuk endemik Jawa Vabellus macropterus (McKinnon,1988). Dari keadaan atau kondisi sumberdaya yang akhir-akhir ini mengalami kemunduran menjadi satu kendala dan permasalahan utama dalam pengelolaan keanekaragaman hayati di Indonesia.

Dari permasalahan-rmasalahan tersebut menunjukkan bahwa kebijakan, strategi dan kelembagaan yang ada dewasa ini kurang mendukung terselenggaranya konservasi jenis. Berdasarkan hal tersebut tulisan ini dimaksudkan untuk mengkaji kebijakan, strategi dan kelembagaan yang ada ditinjau dari kekuatan dan kelemahannya serta peluang dan tantangan ekternal ke depan dalam upaya konservasi jenis.

B. Tujuan

Tulisan bertujuan ini untuk:

1. menganalisis kebijakan-kebijakan mengenai konservasi keanekaragaman hayati pada tingkat species khususnya pada Undang-Undang No. 5/1990 dan Undang-Undang No.41/1999.

2. menentukan strategi peningkatan efektivitas kebijakan konservasi keanekaragaman hayati pada tingkat species.


II. METODE ANALISIS

A. Analisis kebijakan

Analisis kebijakan terhadap UU No.5 Tahun 1990 dan kebijakan lainnya berupa Peratura Pemerintah (PP) yang mengikutinya dilakukan dengan menggunakan kerangka pemikiran sebagaimana Gambar 1.

B. Analisis Rencana Strategis Penguatan Kebijakan

Analisis yang digunakan dalam menentukan rencana strategis peningkatan efektivitas kebijakan konservasi dilakukan dengan analisis SWOT (Strength, Weekness, Opporunity, Threat) terhadap kebijakan konservasi jenis dewasa ini.


Gambar 1. Kerangka Pemikiran Analisis Kebijakan


III. KEBIJAKAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

TINGKAT SPECIES DEWASA INI

A. Undang – Undang No.5 Tahun 1990

Undang – undang ini berlaku sejak tanggal 10 Agustus 1990 yang dikenal dengan nama UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya atau Undang-Undang Konservasi, tahun 1990. Merupakan tonggak sejarah pelestarian alam di Indonesia karena pada tahun ini secara khusus telah diterbitkan UU yang mengatur tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya secara utuh dan menyeluruh . Adapun alasan diterbitkannya UU No. 5 tahun 1990 adalah.

a. Sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa mempunyai kedudukan penting bagi kehidupan manusia yang perlu dipertahankan kelestariannya.

b. Unsur Sumber Daya Alam saling ketergantungan satu sama lainnya sehingga hilangnya salah satu unsure akan mengakibatkan terganggunya ekosistem.

c. Diperlukan adanya langkah-langkah konservasi.

d. Peraturan perundang-undangan yang lama dipandang sudah tidak memadai dan masih merupakan produk kolonial.

Strategi konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui beberapa pendekatan yaitu:

1. Perlindungan system penyangga kehidupan

2. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.

Pengawetan ini dilakukan melalui upaya keanekaragaman jenis tersebut agar tidak punah. Tujuannya adalah agar masing-masing unsure dapat berfungsi secara alami untuk sewaktu-waktu dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia. Upaya ini dapat dilakukan didalam kawasan (in-situ) melalui penetapan kawasan konservasi dan diluar kawasan hutan (ex-situ) di lokasi kebun binatang, taman satwa, kebun raya dan lain-lain.

Pengawetan dan keaneakaragaman jenis tumbuhan dan satwa dilaksanakan dengan menjaga keutuhan kawasan suaka alam agar tetap dalam keadaan asli.

3. Kawasan suaka alam.

Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu baik didarat maupun diperairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya yang berfungsi sebagai wilayah system penyangga kehidupan.

Kawasan ini terdiri dari cagar alam dan suaka alam margasatwa, kedua kawasan tersebut berfungsi:

· Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.

· Wilayah sistem penyangga kehidupan (pasal 15)

Menurut pasal 17 ayat (1) di dalam kawasan cagar alam dapat dilakukan kegiatan:

Penelitian dasar yang meliputi:

· Penelitian terhadap tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.

· Penelitian dalam rangka menunjang pengelolaan,

· Penelitian dalam rangka menunjukan budidaya, termasuk pengambilan specimen tumbuhan dan satwa untuk pengembangan biakan di luar kawasan.

Kegiatan yang bersifat non komersil seperti;

· Pemetaan geologi

· Penyelidikan umum mineral

Menurut pasal 17 ayat (2) di dalam kawasan Suaka Margasatwa dapat dilakukan kegiatan untuk: Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata terbatas dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya, selain itu dapat dilakukan wisata terbatas seperti mendaki gunung, photo hunting, menjelajah hutan, berkemah, rafting dan rekreasi alam lainnya.

4 Pengawetan jenis tumbuhan satwa.

Menurut Pasal 20 tumbuhan dan satwa digolongkan dalam jenis:

· Tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi

· Tumbuhan dan satwa yang dilindungi

Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi digolongkan dalam

· Tumbuhan dan satwa dalam bahaya kepunahan

· Tumbuhan dan satwa yang populasinya jarang.

Selain itu tercantum juga tentang larangan (Pasal 21) dan pengecualian dari larangan (Pasal 22)

5 Kawasan Pelestarian Alam

Kawasan ini mempunyai fungsi untuk perlindungan system penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (Pasal 30).

6 Pemanfaatan jenis tumbuhan satwa liar

Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dilaksanakan dalam bentuk pegkajian, penelitian, dan pengembangan, penangkaran, perburuan, perdagangan, peragaan, pertukaran, budidaya tanaman obat-obatan, pemeliharaan untuk kesenangan.

7 Pengawetan jenis tumbuhan satwa.

Peran serta rakyat dalam konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna (Pasal 37). Pada ayat 1 pasal ini disebutkan bahwa pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan.

B. EVALUASI KEBIJAKAN KONSERVASI

Dalam mengevaluasi kebijakan konservasi yang terkandung dalam Udang-Undang No. 5 Tahun 1999 dan implementasinya, ada 5 kriteria yang akan diperhatikan (Barry C. Field) sebagai bahan penilaian yaitu (1) efficiency dan cost-effectiveness; (2) fairness ; (3) Incentives; (4) enforceability dan (5) moral.

B.1. Efficiency dan cost-effectiveness

Kriteria ini dimaksudkan dengan tingkat efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan konservasi jenis. Efiisiensi menyangkut tingkat marginal kerusakan yang dapat diperbaiki dengan berapa biaya yang dibutuhkan untuk melakukan upaya konservasi. Sedangkan kriteria cost-effectiveness adalah tingkat perbandingan besarnya biaya yang harus dikeluarkan dengan besarnya manfaat upaya konservasi jenis.

Dalam upaya pengawetan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, maupun pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dalam UU No.5/tahun 1999 tersebut belum mempertimbangkan kedua kriteria ini, malah adanya kemungkinan terjadinya in-efficiency dan tidak efektifnya biaya konservasi. Tujuan upaya pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, dalam UU tersebut, adalah agar tidak punah, untuk sewaktu-waktu dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia. Kaitan dengan implementasi akan sulit terjadi efisiensi, mengingat kemungkinan cost-marginal sulit mencapai tingkat marginal penurunan kepunahan jenis yang dikehendaki. Karena tidak didorong adanya peluang usaha yang menarik dalam konservasi jenis.

Dari indicator cost-effectiveness, juga kemungkinan tidak akan tercapai mengingat biaya yang dikeluarkan diduga akan jauh lebih besar dibanding dengan capaian dari upaya konservasi. Hal ini mengingat instansi yang menangani adalah Pemerintah Pusat, yang kemungkinan terjadi tidak efektifnya pembiayaan konservasi.

B.2. Fairness

Suatu kebijakan konservasi yang baik, apabila didalamnya memuat keadilan secara jelas atau mendorong terjadanya keadilan dalam kegiatan konservasi. Dari pasal demi pasal pada UU No.5/1999 tersebut kurang mengakomodasi kriteria keadilan ini, terutama akan sharing manfaat konservasi terutama bagi masyarakat setempat, pemerintah daerah maupun stakeholder yang lain, sehingga timbul ketidakadialan pemanfaatan sumberdaya hayati yang terjadi secara mengglobal. Kekayaan sumberdaya hayati ternyata lebih merupakan surga bagi pencari “emas hijau” (istilah sumberdaya hayati yang potensial untuk dikomersialisasikan, misalnya tumbuhan obat), yang berasal dari perusahaan-perusahaan internasional negara maju. (Latin, 1999). Ketidak-adilan ini adalah hal yang utama terjadinya deplesi hutan yang besar.

B.3. Incentives

Dalam teori ekonomi dikenal dengan adanya incentive, baik itu bersifat positif maupun bersifat negatif mempengaruhi manusia dalam menjalankan peranannya baik itu sebagai pelaku kegiatan ekonomi maupun sebagai pengelola impact dan incident dari perbuatannya. Konsep incentives mencakup juga kegiatan non material reward disamping ekonomi cost dan benefit. Keputusan manusia sebagai homo economicus untuk tidak melakukan tindakan atau tidak melakukan kegiatan ekonomi ditentukan oleh system incentives yang dihadapinya, baik secara material maupun non material, keputusan manusia akan berubah jika incentives yang diterima mengalami perubahan. Jadi dari dasar itulah maka kebijakan ekonomi/pembangunan/pemerintah perlu mengandung unsure incentives yang secara rasional dengan system tersebut dapat mengarahkan perilaku manusia ketujuan yang diinginkan.

Kebijakan yang baik seharusnya dibangun dengan menggunakan dan memperhatikan system incentives. Dari analisis di atas, tidak menunjukkan adanya pasal dalam UU No.5/1999 yang secara eksplisit membangun system incentives ini sehingga menimbulkan dampak:

1. Inefisiensi pengggunaan sumberdaya alam, terutama dalam pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman species.

2. Inkonsistensi antara berbagai kebijakan, inkonsistensi antar tujuan kebijakan yang tidak mengarah kepada sasaran yang sebenarnya.

3. Tidak terakomodasinya kepentingan pengelolaan lestari keanekaragaman hayati dalam paradigma pembangunan serta,

4. kebijaksanaan pengelolaan sumberdaya yang berlangsung. Pemerintah memandang sumberdaya alam sebagai sebagai sumberdaya yang berharga untuk dilikuidasi dalam rangka perolehan devisa, percepatan, percepatan pertumbuhan ekonomi serta diversivikasi basis perekonomian (Deuvergne dalam Suderlin dan Resosudarmo, 1997). Inilah yang menyebabkan erosi keanekaragaman hayati meningkat seeiring dengan melajunya pertumbuhan.

B.4 Enforceability

Kebijakan konservasi jenis tidak akan berjalan apabila tidak ada penegakan pelaksanaannya. Pada Undang-Undang No. 5/1999 pada pasal 40 ayat (2) dan ayat (3) ancaman pidana bagi yang melanggar paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah). Dengan belum adanya kasus yang dikenakan dengan ancaman tersebut, membuktikan bahwa kebijakan yang ada tidak enforceability. Demikian juga ancaman tersebut tidak membuat jera atau takut melanggar ketentuan kebijakan tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya kegiatan illegal logging di kawasan konservasi. Kondisi ini juga lebih didorong tidak jelasnya kepastian hukum.

B.5 Moralitas

Kebijakan yang dibangun harus benar-benar membawa pesan moral yang nantinya akan berdampak kepada perubahan perilaku manusia. Dari analisis terhadap UU, PP, dan keputusan-keputusan lain tidak terlihat ada pasal yang menerangkan mengenai pesan moral yang terkandung didalamnya sehingga dengan tidak terkandungnya hal tersbut sulit sekali untuk mencapai tujuan dan sasaran terutama dalam kegiatan-kegiatan konservasi sumbedaya alam hayati. Dalam undang-undang tersebut juga tidak memberikan peluang untuk munculnya sanksi social bagi pelaku, malah sebaliknya orang bangga dan dapat meningkatkan status social-nya jika memelihara hewan yang dilindungi.

C. ANALISIS SWOT

C.1 Kekuatan

1. Memiliki legalitas dalam kekuatan hukum dalam mengatur pelestarian lingkungan dan keanekaragaman hayati.

2. Mengadopsi dari konvensi - konvensi di tingkat nasional maupun internasional.

3. Menjangkau kegiatan konservasi di dalam dan di luar kawasan hutan.

4. Adanya kelembagaan pengelolaan konservasi di berbagai instansi dan tingkatan pemerintahan

5. Kebijakan itu di ikuti atau dilengkapi oleh pedoman-pedoman operasional.

6. Mempunyai wewenang kepada pengelolaan kawasan dalam melakukan kegiatan konservasi.

C.2 Kelemahan

1. Kebijakan tidak mampu mengantisipasi isu yang berkembang dan yang akan datang sebagai contoh adalah

v Aspek hukum Indonesia yang mengatur komersialisasi sumber daya hayati.

v Tumpang tindihnya kebijakan dan strategi pengelolaan keanekaragaman hayati.

v Terlalu birokrasinya prosedur dan peraturan perijinan penelitian jenis di Indonesia.

v Tidak efektifnya pengawasan peredaran flora dan fauna.

v Lemahnya sumber daya manusia dan sedikitnya dana.

v Lahirnya keputusan politik yang tidak berpihak pada rakyat.

Banyaknya kelemahan diatas menunjukan bahwa bagi Indonesia komersialisme sumberdaya alam yang adil masih merupakan impian dan sulit untuk direalisasikan.

2. Belum adanya kebijakan yang secara tegas menjamin hak atas sumber daya hayati, termasuk pengakuan terhadap pengetahuan local. Walaupun peluang untuk itu sebenarnya ada, seperti di dalam konvensi keanekaragaman hayati yang sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, tetapi pemerintah tidak menindak lanjuti dengan membuat peraturan pelaksanan yang menjamin hak-hak rakyat atas sumber daya hayati.

C. 3 Peluang

  1. Kesadaran manfaat konservasi keanekaragaman hayati semakin tinggi dari masyarakat.
  2. Merosotnya lingkungan yang menyebabkan jenis tumbuhan dan hewan punah sehingga memunkinkan diterapkan kebijakan konservasi.
  3. Meningkatnya pasar terhadap spesies yang belum dikenal dan bahkan dilindungi.
  4. Dukungan Internasional (CITES, CBD, RAMSAR)terhadap konservasi jenis.

C.4 Ancaman

  1. Konvensi lahan hutan yang digunakan untuk penggunaan lain semakin meningkat.
  2. Dukungan politik yang kurang terhadap konservasi jenis.
  3. Persepsi masyarakat rendah terhadap upaya perlindungan jenis
  4. Kemiskinan dan peningkatan jumlah penduduk sehingga akan berdampak terhadap penurunan dan kepunahan jenis.

C. 5 PILIHAN STRATEGIS KEBIJAKAN KONSERVASI JENIS DI INDONESIA

Berdasarkan kombinasi antara faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor-faktor eksternal (peluang dan ancaman) yang mempengaruhi kapasitas dan kapabilitas maka dapat dihasilkan pilihan-pilihan strategis mengenai kebijakan konservasi jenis yang diharapkan dapat menjawab permasalahan-permasalahan implementasi kebijakan konservasi jenis.






STRENGHT (KEKUATAN)

1. Memiliki legalitas dalam kekuatan hukum dalam mengatur pelestarian lingkungan dan keanekaragaman hayati.

2. Mengadopsi dari konvensi - konvensi di tingkat nasional maupun internasional.

3. Menjangkau kegiatan konservasi di dalam dan di luar kawasan hutan.

4. Adanya kelembagaan pengelolaan konservasi di berbagai instansi dan tingkatan pemerintahan

5. Kebijakan itu di ikuti atau dilengkapi oleh pedoman-pedoman operasional.

6. Mempunyai wewenang kepada pengelolaan kawasan dalam melakukan kegiatan konservasi.

WEAKNESS (KELEMAHAN)

1. Kebijakan tidak mampu mengantisipasi isu yang berkembang dan yang akan datang sebagai contoh adalah

v Aspek hukum Indonesia yang mengatur komersialisasi sumber daya hayati.

v Tumpang tindihnya kebijakan dan strategi pengelolaan keanekaragaman hayati.

v Terlalu birokrasinya prosedur dan peraturan perijinan penelitian jenis di Indonesia.

v Tidak efektifnya pengawasan peredaran flora dan fauna.

v Lemahnya sumber daya manusia dan sedikitnya dana.

v Lahirnya keputusan politik yang tidak berpihak pada rakyat.

Banyaknya kelemahan diatas menunjukan bahwa bagi Indonesia komersialisme sumberdaya alam yang adil masih merupakan impian dan sulit untuk direalisasikan.

2. Belum adanya kebijakan yang secara tegas menjamin hak atas sumber daya hayati, termasuk pengakuan terhadap pengetahuan local. Walaupun peluang untuk itu sebenarnya ada, seperti di dalam konvensi keanekaragaman hayati yang sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, tetapi pemerintah tidak menindak lanjuti dengan membuat peraturan pelaksanan yang menjamin hak-hak rakyat atas sumber daya hayati.

3. Lemahnya data yang menyajikan informasi tentang keberadaan jenis yang meliputi penyebaran, kelangkaan, manfaat social,ekonomi dan ekologisnya.

OPPORTUNITY (PELUANG)

1. Kesadaran manfaat konservasi keanekaragaman hayati semakin tinggi dari masyarakat.

2. Merosotnya lingkungan yang menyebabkan jenis tumbuhan dan hewan punah sehingga memunkinkan diterapkan kebijakan konservasi.

3. Meningkatnya pasar terhadap spesies yang belum dikenal dan bahkan dilindungi.

4. Dukungan Internasional (CITES, CBD, RAMSAR)terhadap konservasi jenis.

STRATEGI S-O

v Meningkatkan peluang usaha dalam pemanfaatan jenis sdah tumbuhan dan satwa liar

v Pemberian peluang dan pemerataan pemanfaatan jenis kepada masyakat

STRATEGI W-O

v Meningkatkan kepastian hukum, sehingga peluang peamnfaatan jenis dapat dijamin dan pinalti/sangsi bagi pealku pealnggaran dapat diberikan.

v Kerjasama terpadu antara pusat dan daerah (propinsi, kabupaten dan kota)

v Pengembangan penelitian sehingga menyediakan informasi yang lengkap tentang keberadaan jenis, penyebaran, kelangkaan dan manfaatnya

THREATH (ANCAMAN)

1. Konvensi lahan hutan yang digunakan untuk penggunaan lain semakin meningkat.

2. Dukungan politik yang kurang terhadap konservasi jenis.

3. Persepsi masyarakat rendah terhadap upaya perlindungan jenis

4. Kemiskinan dan peningkatan jumlah penduduk sehingga akan berdampak terhadap penurunan dan kepunahan jenis.

STRATEGI S-T

v Mengembangkan Sektor Ekoturisme berbasiskan satwa langka dan satwa penciri masing-masing wilayah.

v Meningakatkan utilisasi yang lestari jenis dari pada hanya eksploitasi dan proteksi

STRATEGI W-T

v Pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan konservasi

v Meningkatkan income masyarakat dari upaya budidaya jenis-jenis langka

v Memberikan penghargaan bagi masyarakat yang melakukan upaya konservasi jenis dan mengembangkan sanksi social bagi yang memelihara jenis tumbuhan maupunsatwa langka


IV. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Terbitnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, merupakan tonggak sejarah pelestarian alam di Indonesia karena mengatur upaya Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya secara utuh dan menyeluruh, namun tidak mampu menahan laju kerusakan hutan yang mengakibatkan telah terjadinya kehilangan, kematian dan kepunahan jenis tumbuhan dan satwa liar.
  2. Penyebab utama dari kurang mampunya kebijakan tersebut dalam upaya konservasi jenis adalah kebijakan tersebut kurang memenuhi criteria efficiency dan cost-effectiveness, fairness, Incentives, enforceability dan tidak menumbuhkan moral.
  3. Dalam upaya meningkatkan kapasitas dan kapabilitas kebijakan konservasi diperlukan strategi sebagai berikut:

a. Meningkatkan peluang usaha dalam pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar

b. Pemberian peluang dan pemerataan pemanfaatan jenis kepada masyakat

c. Mengembangkan Ekoturisme berbasiskan satwa langka dan satwa penciri masing-masing wilayah.

d. Meningakatkan utilisasi yang lestari jenis daripada hanya eksploitasi dan proteksi

e. Meningkatkan kepastian hukum, sehingga peluang pemanfaatan jenis dapat dijamin dan pinalti/sanksi bagi pealku pelanggaran dapat diberikan.

f. Kerjasama terpadu antara pusat dan daerah (propinsi, kabupaten dan kota)

g. Pengembangan penelitian sehingga menyediakan informasi yang lengkap tentang keberadaan jenis, penyebaran, kelangkaan dan manfaatnya

h. Pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan konservasi

i. Meningkatkan income masyarakat dari upaya budidaya jenis-jenis langka

j. Memberikan penghargaan bagi masyarakat yang melakukan upaya konservasi jenis dan mengembangkan sanksi social bagi yang memelihara jenis tumbuhan maupun satwa langka.


DAFTAR PUSTAKA

Dephut,1990 Undang-undang No. 5 tahun 1999, Tentang Konservasi Sumber daya hayati dan Ekosistemnya. Jakarta. Indonesia.

Dephut,1999 Undang-undang No. 41 tahun 1999 ,Tentang Kehutanan. Indonesia.

Dephut,1990 Undang-undang RI, No 5 tahun 1994 Tentang Konvensi perserikatan bangsa-bangsa mengenai keanekargaman hayati. Jakarta.

Dephut,1999, Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 Tentang Pengawetan jenis Tumbuhan dan Satwa. Jakarta. Indonesia.

Dephut,1990 Undang-undang Tentang Konservasi Sumber daya hayati dan Ekosistemnya. Jakarta. Indonesia.

Muhtaman, R Dwi dkk, 1999. Perbaikan Sumberdaya Hayti, Latin.

Sembiring N Suhaedi, Dkk, 1990. Tentang kajian Hukum dan Kebijakan Pengelolan Kawasan Konservasi di Indonesia menuju Pengembangan Desentralisasi dan Pengkajian Peran serta Masyarakat , ICEL. Jakarta.

Sastrpraja, Dkk, 1990, Keanekaragaman Hayati untuk Kelangsungan Hidup Bangsa. Jakrta Indonesia.

Departemen lingkungan Hidup, 1994. Keanekaragaman Hayti di Indonesia, Kopahalindo , Jakarta. Indonesia.

Dephutbun. 2000. Peraturan Perundang-undangan Bidang Konservasi sumberdaya Alam, Ditjen PJKA Jakarta. Indonesia.

Dephut,1997. Tentang Petunjuk teknis Pengelolaan sarang Burung wallet di habitat Alam. Dirjen Perlindungan hutan dan Pelestarian Alam. Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar